Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warrahmatullaah...
Pada artikel kali ini sesuai judulnya saya akan membahas tentang upacara adat tentang kematian yang terjadi di kalimantan selatan yang dilakukan oleh Suku Banjar. Menurut saya sesuai dengan sumber yang saya baca, perlakuan Suku Banjar kepada kerabat mereka yang sudah meninggal sangat mirip sekali dengan yang dilakukan umat islam. Hanya saja ada beberapa kegiatan tambahan yang dilakukan akibat dari pengaruh adat.
Contohnya, apabila ada orang yang meninggal maka masyarakat sekitar akan membantu prosesi kematiannya. Setiap keluarga sekitar mengirim perwakilan, seorang gadis untuk membawa sejumlah beras, dan seorang pria untuk membantu proses penguburan serta mencari kayu bakar untuk masak-memasak. Lalu, sebelum kerabat keluarga datang maka mayat tidak akan dikubur, kecuali kerabatnya belum datang juga setelah 14 jam kepergiannya.
Berikut adalah proses upacara kematian Suku Banjar:
1. Memandikan Mayat
Orang-orang yang dipilih oleh warga sekitar yang hendak memandikan mayat biasanya adalah para ahli agama (ulama) yang jumlahnya (biasanya) ganjil (bisa 3 orang, bisa 5 orang, atau 7 orang). Dari jumlah itu ada yang disebut sebagai mirandu (ahli waris) yang dalam pemandian bertugas membersihkan dubur dan kemaluan mayat. Sebelum mayat dimandikan, ia dibaringkan di atas batang pohon pisang. Kemudian, mayat diwudlukan (seperti orang yang akan sholat), selanjutnya disiram dengan air sabun sejumlah tiga kali, lalu dengan air yang dicampur dengan kapur barus sejumlah tiga kali, dan akhirnya disiram dengan air bersih, juga sejumlah tiga kali. Setelah itu, mayat dilapisi dengan kain putih (tiga lapis). Selanjutnya, bagian-bagian tertentu, seperti: muka, tapak tangan, dan kemaluan ditutup dengan kapas yang telah ditetesi dengan minyak cendana. Sebagai catatan, sebelum muka mayat ditutup dengan kain kafan (kain putih), para keluarganya diberi kesempatan untuk melihat yang terakhir kalinya.
2. Menyembahyangkan Mayat
Setelah tahap memandikan mayat selesai, maka tahap berikutnya adalah menyembahyangkan mayat. Mayat yang telah dibaringkan dalam usungan (tandu) dibawa ke tempat peribadatan (langgar atau surau atau mesjid) untuk disembahyangkan. Jumlah orang yang menyembahyangkan minimal 40 orang. Jumlah tersebut oleh masyarakat Banjar disebut satu-dirian. Adapun yang menjadi imam adalah orang yang dipercayai atau ditunjuk oleh ahli waris.
3. Penguburan
Sebelum mayat diusung ke pemakaman, yaitu ketika dibawa keluar dari tempat peribadatan, anak dan atau cucunya disuruh untuk menyusup di bawah tandu. Maksudnya adalah agar anak dan atau cucunya tadi tidak sakit-sakitan dan umurnya panjang. Setelah itu, barulah mayat diusung ke tempat pemakaman (kuburan). Di sana telah dibuat liang kubur yang sesuai dengan ukuran mayat. Setelah sampai di kuburan, mayat dibaringkan dengan posisi miring ke kanan dan muka menghadap ke kiblat. Selanjutnya, liang kubur ditimbuni dengan tanah kembali (tanah bekas galian). Sebagai catatan, untuk daerah-daerah yang rendah (rawa-rawa), sebelum mayat dikebumikan, ia dimasukkan dalam sebuah peti yang oleh masyarakat Banjar disebut tabala. Oleh karena itu, ukuran liang lahatnya (kubur) lebih sempit dibandikan dengan liang lahat pada tanah tinggi atau non-rawa-rawa (biasanya hanya 1,5 depax3 jengkal).
Selanjutnya, liang lahat yang telah ditimbuni dengan tanah sehingga membentuk gundukan itu, diberi nisan dari pohon karambat atau kamboja. Setelah itu, mayat ditalqinkan oleh orang alim. Maksudnya adalah agar almarhum kelak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat. Dan, dengan berakhirnya talqin, maka berakhir sudah acara pemakaman. Dan, sebagai catatan pula, semua pakaian almarhum disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang memandikan Selain itu, mereka juga diberi piring, mangkok, dan gelas. Sedangkan, penalqin diberi selembar tikar dan stoples yang berisi air yang telah “dimantrai” (dibacakan ayat-ayat suci).
4. Selamatan atau Kendurian
Bagi masyarakat Banjar, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh), ke-50, 60, 70, 80, 90 yang disebut sebagai manyala ari, dan ke-100 hari (manyaratus hari) terhitung dari meninggalnya seseorang.
Selamatan atau kendurian, baik yang dilakukan pada hari pertama, kedua, dan seterusnya (ke-100 hari) pada dasarnya sama, yaitu diikuti oleh sanak saudara, tetangganya dan kenalannya; dimulai dengan tahlilan (zikir 100x), kemudian dilanjutkan doa yang maksudnya adalah agar dosa-dosanya dimaafkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, diterima amal baktinya, sehingga dapat diterima di sisi-Nya; dan diakhiri dengan penyantapan nasi beserta lauk-pauknya (daging ternak) dan apam surabi. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan sama sekali. Perbedaan tetap ada, khususnya yang berkenaan dengan sajian yang dihidangkan pada hari yang ke-100. Hari yang ke-100 oleh masyarakat Banjar dianggap sebagai yang terpenting. Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha untuk menyelenggarakannya secara lebih besar ketimbang hari-hari lainnya. Apalagi jika yang meninggal termasuk orang yang terpandang dan meninggalkan harta yang banyak (berlimpah). Dalam hal ini biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menyeratus dengan menyembelih kerbau atau sapi. Sebab jika tidak, keluarga tersebut akan dianggap sebagai keluarga yang rakus terhadap apa yang warisan oleh yang meninggal.
Sumber
mantap
ReplyDelete